HeadlineJelajah

DBD Renggut Nyawa 2 Anak, Dinas Kesehatan Ponorogo Akui Kecolongan

Dinas Kesehatan Ponorogo mengaku kecolongan menyusul penyakit Demam Berdarah yang akhirnya merenggut 2 nyawa anak.

Anik Setyorini, Kabid P2P Dinas Kesehatan, mengatakan sosialisasi dan edukasi sebenarnya terus dilakukan, namun masih banyak warga yang meremehkan penyakit yang disebabkan dari gigitan nyamuk Aedes Aegypti tersebut.

Bisa jadi juga, ketidaktahuan masyarakat tentang siklus penyakit DBD apabila sudah menyerang tubuh. Dari 2 kasus anak yang meninggal karena DBD itu, masuk ke rumah sakit sudah dalam keadaan terlambat. Padahal, jika jauh hari sudah dibawa ke fasilitas layanan kesehatan, bisa dilakukan pengawasan dan pemantauan.

Dijelaskan bahwa perjalanan fase Demam Berdarah wajib diketahui oleh warga, dari fase demam, fase kritis, hingga fase pemulihan. Umumnya, warga mengetahui jika seseorang kena DBD dan harus dilarikan ke rumah sakit jika sudah menemukan tanda bintik merah di permukaan kulit, pendarahan di hidung, atau mimisan.

Padahal, tidak semua tanda itu selalu ada pada penderita, sehingga seharusnya ketika panas berlangsung lebih dari 3 hari, sudah harus dilakukan pemeriksaan laboratorium. Yang berbahaya justru ketika panas sudah turun, orang tua merasa anaknya sudah sembuh, padahal bisa jadi masuk dalam masa kritis.

Karena itu, penting melakukan pemantauan selama 5 hari ke depan pasca panas tinggi dengan mendatangi layanan kesehatan. Sementara data di Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa kasus DBD sejak Januari hingga Maret sekitar 16 orang, dua diantaranya meninggal dunia.

Asal tahu saja, DBD di Ponorogo telah memakan korban, dimana dua anak dilaporkan meninggal dunia. Masing-masing balita berusia 3 tahun, warga kelurahan Brotonegaran, dan bocah berusia 10 tahun, warga Madusari Siman. (rl/ab)