Nisa, Sosok Penerjemah Bagi Diffabel Pada Debat Pilkada
Dalam setiap Debat Publik Calon Bupati dan Wakil Bupati Ponorogo, sosok Iswatun Nisa, tentu sangat menarik perhatian. Dirinyalah yang videonya muncul di pojok layar televisi dan menjadi penerjemah materi debat bagi kalangan difabel melalui bahasa isyarat. Tak hanya debat kali ini saja Nisa didapuk menjadi penerjemah. Beberapa sesi debat sebelumnya. wajahnya kerap terpampang, dan pasti publik ingin mengetahui siapa sosok wanita yang panggilan akrabnya Nisa itu.
Biasanya, seorang penerjemah bagi kalangan difabel terutama tunagrahita, juga memiliki fisik kurang sempurna. Namun tidak demikian halnya dengan Nisa yang dikaruniai fisik sempurna seperti orang normal kebanyakan. Lantas apa yang mendorong dara 22 tahun tersebut sehingga mampu menguasai bahasa isyarat ? Kepada Gema Surya, gadis asal Nglames Madiun itu mengaku, awal dari keinginannya menguasai bahasa isyarat, karena dia memiliki teman kerja satu sekolah di SLB yang menderita tuna rungu. Sehingga ketika mereka ngobrol lebih banyak menggunakan bahasa isyarat. Dari situlah dia akhirnya bertekad belajar dari temannya tersebut, secara otodidak, agar bisa berkomunikasi dengan baik.
Selain belajar dari sahabatnya, dia juga mengikuti sebuah komunitas para penerjemah bahasa isyarat dari berbagai daerah untuk lebih mengasah kemampuannya. Nisa menuturkan, butuh waktu sekitar satu tahun baginya, untuk belajar menguasai bahasa isyarat.
Jika awalnya, kemampuannya itu hanya digunakan saat berkomunikasi dengan penderita tuna grahita, namun kini diberi kesempatan untuk menjadi penerjemah bahasa isyarat di sebuah acara resmi. Kesempatan itu datang, tatkala penerjemah bahasa isyarat yang sebelumnya pindah tugas ke luar kota. Atas rekomendasi temannya tersebut, akhirnya setiap kali ada debat dirinyalah yang ditunjuk.
Dirinya tidak menyangka, ilmu yang dia dapat ternyata tidak sia-sia. Selain menjadi penerjemah dalam acara resmi, kini dirinya juga mendapat kontrak dari Pengadilan Agama Setempat, untuk mendampingi para penyandang disabilitas saat ada permasalahan keluarga.
Sejauh ini, tambah Nisa, kendala yang dialami adalah bila berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas dari luar daerah, karena bahasanya jelas berbeda. Sehingga dirinya mengaku masih harus terus belajar. Sementara ke depan, dirinya punya harapan, anak-anak muda dari kalangan difabel, bisa bekerja di berbagai sektor selayaknya orang normal, dan tidak lagi dipandang sebelah mata.