Meskipun sembilan pasar hewan di Ponorogo ditutup sebagai antisipasi penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK), sejumlah pedagang tetap nekat berjualan di luar area pasar. Akibatnya, warga sekitar mengeluhkan terganggunya lalu lintas serta kotoran hewan yang berserakan di berbagai tempat.
“Kami menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait aktivitas pedagang yang masih berjualan di luar pasar. Selain mengganggu arus lalu lintas, banyak kotoran sapi dan kambing yang berserakan sehingga mencemari lingkungan,” ujar Okta Hariadi, Kepala Bidang Pengelolaan Pasar, Dinas Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro (Perdakum) Kabupaten Ponorogo, Senin (3/2/2025).
Ia mengakui bahwa pihaknya menghadapi keterbatasan dalam menertibkan para pedagang lantaran jumlah petugas yang minim dibandingkan jumlah pedagang yang masih nekat berjualan.
“Kami selalu memberikan pemahaman kepada pedagang agar mereka menaati kebijakan yang ada, serta menjaga ketertiban, kebersihan, dan keamanan. Namun, karena petugas yang ada jumlahnya terbatas, upaya pengawasan masih belum optimal,” tambahnya.
Selain mengganggu warga, penutupan pasar hewan juga berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD). Selama pasar hewan ditutup hingga waktu yang belum ditentukan, daerah mengalami kerugian karena tidak mendapatkan retribusi.
“Biasanya, dari satu pasar hewan seperti di Jetis saja, pemasukan retribusi bisa mencapai Rp1,2 juta per hari. Belum lagi dari pasar hewan lainnya seperti di Badegan, Pulung, Slahung, Taman Sari Sambit, dan Ngumpul Balong,” jelasnya.
Sementara itu, Pemkab Ponorogo telah memutuskan untuk memperpanjang masa penutupan pasar hewan. Awalnya, pasar hewan ditutup mulai 8 hingga 21 Januari 2025, tetapi kini diperpanjang hingga waktu yang belum ditentukan, seiring dengan semakin meluasnya kasus PMK di wilayah tersebut.