
Harga telur ayam pasca Lebaran 2025 hingga kini terpantau stabil di kisaran Rp24.000 hingga Rp26.000 per kilogram di tingkat pengecer. Namun, stabilnya harga tersebut belum mampu memberikan keuntungan signifikan bagi peternak ayam petelur. Bahkan, di tingkat kandang, harga jual masih berada di bawah Harga Pokok Produksi (HPP).
Kondisi ini membuat banyak peternak harus bersabar karena keuntungan yang diperoleh sangat tipis. Salah satunya diungkapkan oleh Eny, peternak ayam petelur asal Kecamatan Sukorejo, Ponorogo.
“Stok telur di kandang sebenarnya melimpah, tapi serapannya rendah. Salah satu penyebabnya karena banyak beredar telur jenis hatched egg (HE) yang dijual murah di pasaran,” ujarnya, Jumat (9/5).
Telur HE diketahui sebagai telur hasil penetasan yang gagal menetas dan akhirnya dijual murah untuk konsumsi. Keberadaan telur jenis ini membuat persaingan harga semakin tidak sehat bagi peternak konvensional.
Selain itu, Eny menyebut waktu chick in atau pemasukan anak ayam (DOC) ke kandang yang bersamaan membuat panen telur terjadi dalam waktu yang hampir serentak. Hal ini menyebabkan overproduksi di pasaran.
“Karena panennya bareng, suplai jadi berlebihan. Ini juga bikin harga susah naik dalam beberapa minggu terakhir,” keluhnya.
Upaya kerja sama dengan pemerintah sebenarnya sudah dilakukan, salah satunya melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyerap telur dari peternak. Namun, Eny menyebut penyerapan masih kecil karena program MBG belum merata.
“Saat ini baru satu titik yang menyerap. Kalau bisa merata, itu sangat membantu peternak,” jelasnya.
Meski demikian, ia bersyukur karena harga pakan saat ini belum mengalami kenaikan signifikan, sehingga beban biaya produksi masih bisa ditekan.
“Untungnya harga pakan stabil, jadi kami masih bisa sedikit bernafas,” pungkasnya.