
Adanya rencana kebijakan calon pengantin diharapkan membawa 10 bibit pohon matoa jika ingin melangsungkan pernikahan disambut gembira kalangan pengusaha bibit tanaman di Ponorogo.
Simon, salah satu penjual bibit tanaman di Desa Menang, Kecamatan Jambon, menyatakan siap mendukung kebijakan ini jika benar-benar direalisasikan. “Kalau benar kebijakan itu diterapkan, saya siap menyiapkan banyak bibit matoa,” ujarnya.
Meski begitu, Simon mengaku sejauh ini baru mendengar informasi tersebut secara informal. “Saya dengar infonya, tapi untuk kepastiannya masih belum jelas,” katanya. Selama ini, menurut Simon, masyarakat Ponorogo memang kurang familiar dengan pohon matoa, yang dikenal juga sebagai kelengkeng Papua.
“Karena kurang dikenal, saya juga tidak banyak stok. Paling banyak hanya ada sekitar 100 bibit di tempat saya, itu pun lakunya lambat dan biasanya hanya pelanggan tertentu yang mencari,” jelas Simon.
Ia menambahkan, pohon matoa sebenarnya cocok ditanam di wilayah Ponorogo, meskipun membutuhkan lahan yang cukup luas. “Pohon matoa bisa tumbuh besar, tingginya rata-rata 18 meter dengan diameter sampai 100 sentimeter,” terangnya. Simon juga menyebut, pohon matoa biasanya berbuah sekali dalam setahun dengan rasa buah yang mirip kelengkeng.
“Karena batangnya keras, pohon matoa agak sulit dikembangbiakkan dengan tempel mata atau stek. Biasanya ditanam dari biji atau hasil cangkokan,” tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, Kemenag Ponorogo tengah mempersiapkan kebijakan baru sebagai bentuk dukungan terhadap program penghijauan. Calon pengantin nantinya wajib membawa bibit pohon matoa yang kemudian akan ditanam di lingkungan masing-masing.
Kemenag juga telah berkoordinasi dengan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, terkait rencana ini. Dipilihnya pohon matoa karena dinilai memiliki daun yang rindang serta akar yang tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya.