
Sudah tiga tahun terakhir, Ramadan terasa berbeda bagi Wildan Tamami, warga Desa Mlarak, Ponorogo. Pemuda berusia 20 tahun ini harus menjalani ibadah puasa jauh dari keluarga setelah diterima sebagai mahasiswa di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, jurusan Mechanical Engineering.
Kepada Gema Surya, Wildan mengungkapkan rasa rindunya terhadap suasana sahur dan berbuka di kampung halaman. “Kalau di rumah, bisa menikmati banyak menu masakan. Berbeda jauh dengan di negeri orang, apalagi saya hidup sendiri selama belajar di Singapura,” ujarnya.
Agar lebih mudah memenuhi kebutuhan makan selama Ramadan, Wildan sengaja membeli peralatan masak listrik untuk memasak nasi sejak awal puasa. “Lauknya saya stok yang instan, seperti mi dan nugget, karena saat sahur tidak ada toko atau rumah makan yang buka,” jelasnya.
Berbeda dengan sahur yang cukup sulit, berbuka puasa lebih mudah karena banyak masjid di Singapura menyediakan menu berbuka. “Tapi, lokasinya jauh dari kampus, jadi saya harus naik bus untuk ke sana,” tambahnya. Wildan juga menyebut bahwa salah satu tantangan lain di Singapura adalah tidak adanya azan menggunakan pengeras suara. “Jadi, kalau mau sahur, saya harus mengandalkan alarm di HP,” katanya.
Soal makanan, Wildan mengaku rindu masakan rumahan. “Di Singapura memang banyak rumah makan yang menyediakan makanan Indonesia dan halal, tapi rasanya masih jauh berbeda dengan yang ada di kampung,” ungkapnya. Karena itu, setiap pulang ke Indonesia, ia selalu memuaskan diri dengan menikmati kuliner khas, salah satunya nasi pecel.
Wildan juga bercerita bahwa ia bisa berkuliah di Singapura berkat beasiswa yang ia dapatkan setelah menjuarai Olimpiade Sains Nasional (OSN) saat SMA. “Setelah menang OSN, saya mendapat tawaran beasiswa di beberapa perguruan tinggi luar negeri. Saya memilih Universitas Teknologi Nanyang karena lebih dekat dengan Indonesia,” jelasnya.